Oleh :
Muh. Rizki idris, S.H.
Dosen di Fakultas Hukum
Universitas Saijaan Kotabaru Kalimantan Selatan
Dosen di Fakultas Hukum
Universitas Saijaan Kotabaru Kalimantan Selatan
Hukum merupakan sebuah item yang vital dalam
kehidupan bernegara. Timbulnya permasalahan hukum akan menyebabkan
ketidakstabilan diberbagai sektor termasuk politik, keamanan, ekonomi dan
sosial, kemudian berimbas pada penurunan kinerja pemerintahan suatu Negara. Hal
tersebut sangat wajar mengingat sektor-sektor tersebut memiliki keterikatan
satu-sama lain, bahkan masalah-masalah hukum sering kali berawal dari kerusakan
di salah satu atau beberapa sektor tersebut.
Masalah penegakan hukum (rule of law) di Indonesia merupakan
masalah yang kompleks dan multifaktor. Penegakan hukum tentunya bermuara pada
tercapainya tujuan-tujuan hukum yang meliputi keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum. Meskipun ketiga variabel tersebut sering kali saling bertabrakan.
Keadilan merupakan hal yang sangat abstrak, hal tersebut disebabkan karena
setiap individu memiliki perspektif yang berbeda mengenai keadilan. Terkadang
yang kita anggap adil belum tentu adil bagi orang lain, Begitu pula
dengan kemanfaatan. Sementara kepastian hukum cenderung lebih statis, variabel
ini cenderung kaku karena dibatasi oleh ketentuan yang sudah dilegalisasi
secara permanen.
Setiap sistem hukum memiliki caranya tersendiri dalam
mensinkronisasikan variabel-variabel dari tujuan hukum tersebut, misalnya
sistem hukum civil law yang menitikberatkan penemuan hukum pada
undang-undang atau aturan yang terkodifikasi maka aturan-aturan yang
terkodifikasi tersebut sebisa mungkin dirancang agar bias mengakomodasi
keadilan dan kemanfaatan bagi subjek-subjek hukum yang ada. Sementara dalam
sistem hukum common law yang menitikberatkan penemuan hukum pada
proses peradilan dikenal adanya yurisprudensi sebagai upaya menguatkan posisi
kepastian hukum.
Dalam penegakan hukum sendiri menurut Lawrence Friedman ada
3 variabel yang sangat berperpengaruh, yaitu Substansi Hukum (legal substance),
Kultur Hukum (legal culture) dan Struktur Hukum (legal structure). Substansi
Hukum diartikan sebagai norma, peraturan atau undang-undang yang menjadi sumber
rujukan dalam penemuan hukum, sementara kultur Hukum diartikan sebagai
kebiasaan atau budaya hukum yang menjadi landasan berprilaku masyarakat dan
Struktur Hukum diartikan sebagai lembaga-lembaga penegak hukum serta
lembaga-lembaga yang terkait lainnya.
Menelaah satu per satu variabel di atas dapat membawa kita
mengerti seperti apa wajah penegakan hukum kita saat ini dan masalah apa yang
sedang dihadapi bangsa kita saat ini terkait penegakan hukum.
Substansi Hukum
Sebagaimana diketahui bahwa sistem hukum di Indonesia
diadopsi dari peninggalan kolonial sistem belanda yang juga diadopsi dari code
civil Prancis. Sistem hukum barat ini kemudian diakulturtasi dengan living
law yang ada di Indonesia, di Indonesia sendiri terdapat keragaman kultur
serta hukum-hukum adat yang tersebar di seluruh daerah, belum lagi pengaruh
hukum islam yang begitu kental dibeberapa daerah.
Hal ini ternyata menimbulkan permasalahan tersendiri, ketika
hukum nasional kemudian harus bisa mengakomodasi setiap living law yang ada di
seluruh daerah di Indonesia, apabila kodifikasi yang dibuat itu mengatur
norma-norma yang sudah mapan tidak akan ada masalah, namun ketika berhubungan
dengan norma-norma yang relatif maka penerapan hukum akan menjadi timpang dan
dapat menyebabkan disinterpretasi, seperti halnya yang terjadi pada RUU
Pornografi dan Pornoaksi dimana tidak ada titik temu mengenai pemaknaan yang
general terhadap pornografi dan pornoaksi.
masalah ini sebetulnya sedikit terjawab dengan munculnya
Peraturan Daerah (Perda) yang mengakomodasi kepentingan setiap derah untuk
menciptakan legalisasi terhadap norma-norma yang hidup dalam masyarakat di
daerah tersebut selama tidak bertentangan dengan hukum nasional. Namun
permasalahan sebetulnya terdapat pada pembuatan hukum itu sendiri, terkadang
legislasi yang dilakukan oleh badan legislatif tidak memperhatikan adanya
kesenjangan tersebut, pembuatan undang-undang terkadang tidak berpatokan kepada
realitas sosial masyarakat di Indonesia, namun lebih kepada riset yang
relevansinya diragukan.
Para legislator mestinya lebih sering melakukan penelitian
ke daerah untuk menemukan formula yang tepat dalam perancangan undang-undang,
namun yang terjadi justru mereka lebih suka melakukan studi banding ke luar
negeri yang kondisi sosial masyarakatnya belum tentu sesuai dengan kondisi
sosial masyarakat di Indonesia. Hal ini menyebabkan undang-undang yang
dihasilkan terkadang sulit untuk dapat diterapkan secara maksimal.
Masalah lain adalah adanya kepentingan politik atau
golongan-golongan tertentu dalam pembuatan sebuah undang-undang. Tidak bisa
dipungkiri bahwa hukum merupakan produk politik namun bukan berarti hukum dapat
dijadikan instrument untuk menjalankan sebuah kepentingan politik melainkan
harus bertujuan untuk menciptakan keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum
bagi masyarakat.
Kultur Hukum
Adanya heterogentas hukum dalam masyarakat Indonesia
tentunya cukup mempengaruhi tingkat ketaatan hukum di setiap daerah, adanya
pengaruh budaya yang dominan dalam perumusan hukum nasional akan menyebabkan
daerah lain merasa termarginalkan dan mempengaruhi tingkat ketaatan hukum di
daerah tersebut. Tidak bisa dipungkiri bahwa isu kesukuan atau kedaerahan masih
sangat sensitive dalam masyarakat Indonesia, adanya budaya yang cenderung
dominan menyebabkan terciptanya disintegrasi sosial bahkan yang paling parah
adalah disintegrasi bangsa.
Kebudayaan yang berbeda di setiap daerah dapat mnyebabkan
interpretasi yang berbeda terhadap sebuah undang-undang. Disinterpretasi inilah
yang kemudian berpotensi mengkriminalisasi budaya tertentu dan berimbas kepada
marginalisasi secara hukum.
Secara umum budaya Indonesia sangat menjunjung tinggi
hal-hal yang bersifat normatif, tanpa disadari hal tersebut telah membatasi
ruang gerak berekspresi dan beraktualisasi bagi setiap individu, sehingga
kecenderungan yang terjadi adalah timbulnya upaya mencari celah untuk keluar
dari lingkaran normatifitas tersebut dan menemukan kebebasan. Berbeda dengan
Negara-negara liberal yang menjunjung tinggi kebebasan individu sehingga
normatifitas seolah-olah hanya sesuatu yang bersifas opsional dan pada akhirnya
kecenderungan yang terjadi adalah individu itu sendiri yang membutuhkan sebuah
keteraturan dalam hidup mereka.
Hal tersebut sangat mempengaruhi prilaku kriminologis
masyarakat Indonesia sendiri. Timbulnya budaya-budaya baru seperti budaya
korupsi, kolusi, nepotisme, money politic, pergaulan bebas, pembunuhan karakter
dll, menjadi representasi adanya sikap antisosial sebagai bentuk perlawanan
terhadap norma-norma yang ada.
Realitas tersebut kemudian membuat hukum serta norma-norma
lainnya seolah menjadi musuh bagi setiap individu ditambah lagi kesenjangan
sosial, rendahnya pendidikan serta masalah ekonomi turut menjadi faktor yang
menumbuhsuburkan potensi pelanggaran hukum oleh masyarakat.
Struktur Hukum
Kesenjangan antara das sollen (keadaan ideal/normatif) dan
das sein (realitas/implementasi) merupakan hal yang dianggap biasa oleh para
penegak hukum kita saat ini. Mainset teresebut menyebabkan idealism menjadi
sesuatu yang kaku dan tidak realistis. Timbulnya pola-pola pemikiran sesat
semacam itu tentunya merupakan hasil dari social learning yang
disuguhkan secara terus-menerus selama ini. sesuai dengan teori Social
Learning dari Albert Bandura bahwa proses belajar sosial bisa dilakukan
dengan dua cara yaitu observasi, dan pengamalam langsung.
Salama ini kita selalu disuguhkan dengan pemberitaan di
media mengenai kebobrokan institusi penegak hukum kita , hal tersebut sedikit
demi sedikit membangun sitigma negative masyarakat secara general terhadap para
penegak hukum, observasi yang dilakukan secara terus-menerus itu dapat
menghasilkan sikap pesimistis terhadap kinerja penegak hukum yang kemudian
berdampak secara psikologis terhadap penegak hukum itu sendiri. Selain itu
masyarakat sering kali mengalami sendiri dan menjadi korban praktek-praktek
sesat para penegak hukum. Hal inilah yang menjadi dasar terbentuknya mainset
bahwa menjadi penegak hukum adalah salah satu jalan untuk keluar dari lingkaran
normatifitas seperti yang saya tuliskan diatas.
Proses rekrutmen yang buruk juga menjadi faktor yang
mendukung kebobrokan institusi penegak hukum di Indonesia. Sudah menjadi cerita
umum jika proses rekrutmen dalam institusi pemerintah sangat rentan terhadap
praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) bahkan intervensi dari
kepentingan-kepentingan politik, sehingga penilaian yang dihasilkan menjadi
tidak objektif. Pola semacam ini tentunya berdampak pada kinerja orang-orang
yang berada di institusi tersebut yang kemudian tidak berorientasi pada
penegakan hukum melainkan berorientasi pada kepentingan-kepentingan tertentu,
sehingga sangat mudah disusupi oleh kepentingan-kepentingan dari luar.
Link Affiliate :
http://UangDownload.Com/join/2076.html
http://topfacebookbisnis.com/go/2195954.html
http://UangDownload.Com/join/48632.html
https://masterkey.masterweb.net/aff.php?aff=5879
Link Affiliate :
http://UangDownload.Com/join/2076.html
http://topfacebookbisnis.com/go/2195954.html
http://UangDownload.Com/join/48632.html
https://masterkey.masterweb.net/aff.php?aff=5879