Cafe Bisnis Online
News Update :

BUKU BARU Hamdan Andank : Menemukan Jalan Pulang dalam 9 Pengakuan

Kamis, 22 Maret 2012

Sebuah Ulasan Buku Antalogi Puisi 9 Pengakuan – Seuntai Kidung Mahila
Oleh : Hamdan Andank
Seperti diungkapkan sejumlah komentar dalam antologi ini bahwa puisi-piusi di dalamnya berkisah tentang; umpama, kenangan, penderitaan, kopi, kesetiaan, tuhan, pengkhianatan, luka, penantian, cinta, harapan, dan lain sebagainya. Sebagai pembaca saya juga dapat merasakan hal tersebut, meskipun saya tidak mengerti, secara teoritis dari sudut pandang apa saya merasakannya.
Pemesanan buku antalogi puisi 9 pengakuan 'seuntai kidung Mahila' untuk sementara hanya melalui online...silahkan hub lewat FB atau Hub: 087841894689 
Saya juga tidak berani menempatkan puisi seseorang ke dalam aliran-aliran yang ada dikenal dalam dunia sastra, karena saya yakin bahwa penulis dalam proses penciptaan karyanya, tidak sedang berada dalam satu aliran sastra tertentu. Tidak sedang bermaksud mengatasnamakan aliran sastra tertentu. Pembacalah yang kemudian memenjarakan penulis ke dalam sebuah aliran. Pembaca atau kritikuslah yang menuduh penulis menganut aliran tertentu; strukturalisme, idelisme, realism, ekspresionisme, romantisme, dll.

Bagi saya puisi adalah realitas, yakni realitas batin yang muncul dari kembara imajinasi, kembara intuisi, lalu dinyatakan dalam bentuk tulisan. Kemampuan kembara imajinasi dan intuisi sangat dalam jika tidak ingin disebut tinggi, dan karena kedalamannya itu hingga kata-kata dan bahasa yang kita miliki sulit menjangkaunya. Kata dan bahasa menjadi ruang kecil dan sangat terbatas untuk dapat mengimbangi kedalaman kembara imajinasi dan intuisi.

Kata dan bahasa yang ditulis, dirangkai menjadi bait-bait puisi, lalu dibaca oleh pembaca yang memiliki kemampuan imajinasi dan intuisi sendiri-sendiri dalam menyelami bait-bait puisi tadi. Penyelaman itu melahirkan realitas batin baru yang berbeda dengan realitas batin penulis, melahirkan pengalaman batin baru yang berbeda dengan pengalaman batin penulis.

Jadi puisi sebagaimana karya-karya sastra atau karya seni lainnya, bagaikan ikan, dapat menetaskan ribuan telur realitas batin yang beda satu dengan lainnya, sebanyak jumlah pembacanya. Setiap realitas batin itu akan membentuk ruang kembara imajinatif dan intuitifnya masing-masing pula, kemana saja.

Karenanya dalam aroma kebebasan kembara itu, kelirulah kiranya jika saya sebagai pembaca hendak menuduh sebuah karya cocoknya digolongkan ke dalam sebuah aliran tertentu. Karena jarak antara pengalaman batin penulis dan pengalaman batin pembaca diantarai oleh teks yang memiliki keterbatasan menjangkau pengalaman batin.

Oleh karenanya saya hanya ingin mengemukakan sedikit pengalaman batin yang baru dapat saya selami setelah membaca satu persatu “pengakuan” ini 3-4 kali. Saya menemukan kekuatan yang mengantarkan kita untuk menemukan “Jalan Kembali” atau “Jalan Pulang”.  Ada banyak hal yang dapat menuntun kita untuk menemukan “jalan pulang” itu. “Jalan” dalam tradisi spiritual sesungguhnya berbentuk lingkaran, yang ketika kita memulai perjalanan “pergi” , sesungguhnya secara bersamaan kita sedang memulai perjalanan “kembali”.  Ada beberapa unsure yang mengantar kita secara tegas pada “jalan pulang” itu, misalnya; kampong halaman, kenangan pada masa lalu, ibu, nenek, perjalanan, dll.

Puisi Erni Aladjai dan Sri Rezkhi, terlihat sangat diboboti oleh kekuatan “kampung” halaman. Istilah “kampung” sesungguhnya tidak sekedar wilayah territorial yang selalu identik dengan keterbelakangan di era modern. Tetapi lebih dalam, kampong adalah symbol asal-usul.

Hal ini terlihat ketika Erni banyak menggunakan kata yang terkait dengan suasana laut dan pesisir serta sejumlah istilah yang merepresentasikan kampong halaman penulis.

…ia menjahit jala setekun mungkin, serupa ia bersekutu dengan ikanikan…/kau lihat teluk dengan airnya yang berpelangi…/semula kuduga kau hanyalah dermaga/… aku ikan di kali dan kau mengail berkalikali… [aku masih ikan; erni aladjai]

…sajak perburuan ini menjadi agung bagi orang Lamalera
…Marilah We!/Marilah pastor!/Naikkan doa kami ke atas langit/Semoga seguni abadi. [Baleo : We; erni]

Sasapatola adalah pengantar tidur anakanaknya yang tak pernah merasa kenyang… [puasa ini terlalu panjang; erni]

…tiga pekan sebelum pemakamanmu/… [120 Pi; Erni]

…di kampung ini, tak pernah ada perempuan yang sehebat nenek
sejak kematiannya, di kampung ini, tak ada lagi pantun/… [kenang-kenangan nenek; erni]

punggungmu adalah ladang untuk pulang/di sana musim tak menguning… [sesederhana kita; erni]

…Matangkan usia kami Tuhan!/Kami akan menurut/Tak akan menuntut kota datang di mata/kami punya perahu dan pagi/pantai dan kuntul pulang senja/… [mata ibu; erni]

Masih terkait dengan “kampong” halaman, Sri Rezkhi menggambarkannya dengan hal lain, yakni; kopi dan nenek. Kopi dan nenek mengingatkan pada asalmuasal. Bahkan kopi dapat mengantarnya ke surga, tempat semua orang dambakan ketika “kembali”. Juga beberapa kata yang menggambarkan suasana “perjalanan kembali” misalnya; masa lalu, matiku, matahari remuk, tenggelam, pulang, rindu.

Kopikopi itu berubah/cintaku pada nenek tidak berubah/cintaku pada pohonpohon kopi di halaman rumahnya/dan cintaku pada segelas kopi hitam pekat/begitulah abadi/mengingatkan aku pada asalmuasalku [mosi secangkir kopi; rezkhi]

…pada pintu rumah nenek saat kabut/di tanganku secangkir kopi toraja/di tanganku aku menggenggam surga [sarira; rezkhi]

…bahwa kita kehilangan semua tikungan, jalan aspal hitam, trotoar abuabu yang dulu, debudebu berwarna coklat muda/aku kehilangan/masa lalu [hening; rezkhi]

…aku tidak percaya kau akan membuat matiku tersiksa/aku ingin tersenyum saat matahari remuk/beradu dengan langit dan tenggelam sedikitsedikit [tentang laut; rezkhi]

Pada matamu selalu aku pulang melabuhkan resahku/seluruh penatku/… [satu selip puisi cinta; rezkhi]

…dan tidak ada… sakit parah yang menahun/kecuali rindu kronik [rindu kronik; rezkhi]

Dewi Mudjiwa menggunakan kata seperti; kenangan, menua, menjumpai Tuhan, sepi yang kudus, jiwa.

…lembar kenangan tersapu timbal/daundaun kelapa menua begitu pun cinta/…[janur patah hati; dewi mudjiwa]

Kau tidak pernah rasai –cemas dan bahagia-/hingga peluk yang dieratkannya/membuatmu menjumpai Tuhan [iga; dewi mudjiwa]

…kepada bulir cahaya yang runtun/dan bisu yang sejuk/berlutut menyenandungkan sepi yang kudus/o, jiwa!/ajari aku mencintaimu dengan benar! [sepertiga; dewi mudjiwa]

Tiza Fitrizia lebih menekankan “perjalanan” yang pergi sekaligus kembali itu. Mungkin karena Fitrizia dalam kehidupannya mendalami persoalan-persoalan ‘travel and tourisme’ sebagaimana studi yang ia geluti terakhir.

Kilometer jualah yang menyandungku pada rindu/…aku dijebak kenang setelah spion berhenti pada mataku sendiri/…dalam perjalanan pulang/kita berkejar kabar/… [dalam perjalanan pulang; tiza fitrizia]

Dari senin yang hujan, selimut membawaku padamu. Ke malammalam dimana bibirmu adalah langit, tempat aku menggambar rumah dengan mataku. Kita mencari-cari malaikat yang sama … [senin di desember; tiza fitrizia]

Lingkaran kecil di jari manisnya ada Tuhan/merah/bulat/samar/…
Tuhan, kubawa Engkau kemanamana---/agar sunyi tiada dan aku punya lawan bicara” …[perempuan bercincin Tuhan;  tiza fitrizia]

Perjalanan ini baik/membolehkanku singgah berkalikali hanya untuk menulis namamu dimanamana [pesan kereta; tiza fitrizia]

Berbeda dengan puisi-puisi diatas, Deasy Tirayoh, dengan “balada hati” yang cukup singkat, sangat tepat ditempatkan pada bagian awal atau pembuka dari seluruh puisinya dalam antologi ini. Balada hati semacam sebuah abstraksi yang melingkupi keselurhan puisinya. Sehingga dengan dengan “balada hati”, puisi-puisi Deasy mungkin tepat disebut “balada-romance”, ada kisah yang mengalir dalam batinnya. Namun demikian, puisi Deasy juga masih cukup akrab dengan “jalan” pergi dan pulang/kembali.

Sebab telah kucintai/dirimu/dengan cukup/sebelum/merelakanmu pergi
[balada hati; deasy tirayoh]

Angin masih/belum pulang/…layanglayang putus/…jangan mengutuk/…cinta punya banyak rupa [layang-layang; deasy tirayoh]

Ada cinta yang cukup dan ada kepergian, tapi bagaimana cinta yang cukup, cinta yang tidak sangat itu, dapat melahirkan ketulusan atas kepergian? “kepergian” menyebabkan  “penantian yang meruah” sementara yang dinanti belum pulang-pulang. Tapi itulah salah satu rupa cinta. Cinta banyak rupa, seperti yang dimiliki sang perayu pada “secangkir purnama”.

Kapan pulang?/kita timbun lagi bijibiji/dengan cangkul kaca/…nay, datanglah sekali/kita tidur siang lagi/aku tunggu di teras. [di teras dengan bunga-bunga; deasy tirayoh]

Nilam Indahsari menyatakan perasaan, bahwa perasaan yang indah itu justru ketika hati menjadi tempat bermainnya kesetiaan dan penghianatan.

…saat jari manis kita ikatkan pada musimmusim/aku tahu sesekali hati kita bermain muslihat/tawarkan rasa sungguh mawar, cipta debar/yang begitu melembabkan… [anomaly: nilam indahsari]

…mungkin ratusan narasi kehidupan/berisi tingkah iblis dan malaikat/seperti dalam diri rahwana yang konon membuatnya dicinta oleh shinta/… [sebuah pengakuan; nilam indahsari]

Hal senada oleh Meiranti Kurniasih

Perempuan itu kau!/Aku tak tahu kau menyulam dalam kelam/…
Kita sempat bermain matahari bersama/tapi aku berhianat bermain air… [sajak perempuan; merianti kurniasih]
…hanya saja kita telah terlanjur/lebih dulu bersaudara di sementara/dari sekedar kenal nama/
Pada saban petang/belingbeling yang kau lempar/tepat menancap di hatiku/sekarang kita lebih musuh/dank au tak pernah menyesal/… [remores; merianti kurniasih]

Amanda Rizky Puspita tampak banyak bergelut dengan “waktu”  yang berjalan dengan penataan yang ketat dari kehidupan kota, hidup adalah waktu yang terjadwal;

…karena setiap pertunjukan/punya batas waktu/krik/krik… [pertunjukan; ar puspita]

Di taman itu/suhu beku/duduk kau disebuah bangku/
Cemara tiang, bamboo, kenari, dan rasamala/menabuh jarak antara ributnya asapasap kota/dan lelahmu yang memohon jeda/
Aku benci gaduh itu…/muak aku pada rantai mahal dunia riuh/hidup di malam remang bergudu/mati di siang yang lesu/…

Dalam puisi “percakapan berbayar” , ar puspita bahkan memperlihatkan betapa waktu yang sedikit harus dibayar bila ingin menggunakannya, meskipun hanya sekedar untuk bertanya; ‘bagaimana kabarmu?’. Juga pada “7 pagi” mengejar 60 menit yang  memaku. Bahkan luka-luka harus segera dirapikan. Dalam kehidupan kota, waktu tak pernah berdamai dengan cinta, bahkan cinta harus tunduk pada jadwal-jadwal.

…musim ini akan segera berlalu/kataku, sambil menggenggam tangannya/biarkan aku pergi/dan kau akan menyimpan kristalkristal ini/sebagai tanda bukti…

Pada puisi Nurul Nisa kesan romance juga terasa. Namun demikian membawa kita pada banyak hal terkait dengan “asal-usul” tempat kita pergi dan kembali.

Panggil aku hawa/aku mahluk yang memiliki langit pada rahimku/tak ada yang tahu asalusulku… [panggil aku hawa, di lain waktu; nurul nisa]

Tahukah kau/kadang malam mendekap usang hidup orangorang di balik selimut/dengan kidung kunangkunang/seperti Abraham/menemukan Tuhan di waktu yang gelap/… [malam Abraham; nurul nisa]

Di satu akhir /mereka datang membawa duka/dan tuhan masih dikantonginya/…”telah ditasbihkan atasmu bersama orangorang kafir sebelummu”/mereka kembali menyalib cadas dan kerikil dilehernya/Eli, Eli lama sabakhtani/ Eli, Eli lama sabakhtani/ Eli, Eli lama sabakhtani/Eli…Eli…/… [di satu akhir dan tahun yang berulang; nurul nisa]


Link Affiliate :
http://UangDownload.Com/join/2076.html
http://topfacebookbisnis.com/go/2195954.html

http://UangDownload.Com/join/48632.html

https://masterkey.masterweb.net/aff.php?aff=5879

Cafe Bisnis Online Cafe Bisnis Online Lowongan kerja buat facebookers Cafe Bisnis Online Cafe Bisnis Online
Share this Article on :

TERKOMENTARI

Cafe Bisnis Online
Amal Shaleh (3) Amanat Undang Undang Dasar (1) Antropologi (1) Arang Tempurung (1) Artis (1) Arumi Bachim (1) Azon Profit MAster (1) BBM (4) Beli Buku (1) Bisnis Potensial (1) Blogger (2) Buku Book (2) Cari Dolar (3) Cari Duit (3) Demonstrasi (8) ebook (2) Fakultas Hukum Unhas (1) Future Technologi (4) Gerakan Indonesia Mengajar (8) Gerakan Mahasiswa (10) Gerakan Pekerja dan Buruh (3) Gizi Buruk (3) Halte Kayu (1) Hamdan Andank (1) Home Shcooling (2) Indonesia Maju (8) Info Lomba (3) Istana Negara (1) Isu Seksi (2) Jalan Baru Islam (4) Jual Buku (1) Jual Buku Digital (1) Kelautan (6) Kesimpulan Buku (1) Kesimpulan dan Saran (5) Kiamat 2012 (2) Kick Andy (1) Kolaborasi (1) Komisi (1) Komoditi (1) Kondisi Masyarakat Pesisir (1) Krisis Pangan (3) Kursus (2) Lamun (1) Lowongan Kerja (1) Masa Depan Dunia (8) Masa Depan Indonesia (18) Masa Depan Kelautan (1) Masyarakat Nelayan (4) McDonald's (1) Membuat Affiliate (1) Mengajar (8) Mobil Esemka (1) Mobil Moko (1) Pariwisata (1) Pasca Sarjana (1) Pendidikan Hukum (2) Penduduk Dunia (2) Penduduk Indonesia (4) Penelitian (2) Penemuan (4) Pengajian Anak (1) Penggulingan Rezim (5) Penggulingan SBY (4) Penhasil Dolar (1) Penjarahan (1) Perairan Indoensia (3) Perikanan (1) Pertanian (1) Pesisir Indonesia (4) Peternakan (1) Rekomendasi (2) Reviw Penelitian (1) Riset dan Survey (4) Sanggar Pendidikan (2) Selebritis (1) Simpulan dan saran (2) Soeharto (1) Software (1) Software Canggih (1) Sosial Politik (1) Statistik (1) Strategi Pembangunan (8) Sulawesi Selatan (2) Teknologi Informatika (8) Teknologi Masa Depan (4) Teknologi Tinggi (7) Tentara dan Polisi (2) Tulisan (3) Universitas Hasanuddin (6) Universitas Se-Indonesia (7) Wakatobi (2)
 

© Copyright LediSYah.com 2010 -2011 | Design by Syahnudin Syahden | Published by Ledisyah Template | Powered by Blogger.com.